follow button

Jumat, 10 Agustus 2018

kodrat istri, they said

Laki laki menginginkan istri yang memprioritas kan keluarga dan anak. 
istri yang mengabdi seluruh jiwa dan raga untuk membentuk keluarga yang sempurna menurut pandangan umum.
Sementara seorang perempuan mencari suami yang 'menghargai' dirinya dengan segala karakteristik nya (termasuk impian-impian nya). bukan hanya memaksa meluruskan tulang rusuk yg memang melengkung.

Lelaki atau bahkan banyak sekali pandangan yang dengan mudahnya menjustifikasi bahwa perempuan yang tidak bercita-cita sebagai ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak solehah. 
di jaman maju kayak gini sih harusnya gak banyak lagi pria patriarki. kalo masih ada yang kayak gitu, tandanya gak banyak belajar dan bergaul.

perempuan harus mau ‘tercerabut’ dan mengikuti suaminya. Ia harus bersedia mengubur mimpi-mimpinya demi mendampingi suaminya. Ia harus merelakan badannya yang langsing untuk jadi nggelambyar dimana-mana demi memiliki anak. Pun ia harus setegar karang saat lingkungan mempertanyakan caranya merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya. 

Lelaki bersembunyi di dalam kalimat "udah kamu tinggal santai santai di rumah"
We all know, yang namanya pekerjaan rumah tangga enggak akan ada habisnya. 
Dari mulai ngebersihin rumah, urusan pakaian, dan belum lagi menjaga hubungan dengan tetangga. 
Nah, jadi wajar kalau ‘ibu rumah tangga’ doesn’t simply means ‘perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah’.
‘Kasihannya’ istri, mereka mah nerima aja dikasih belanja berapa, mikir jumpalitan supaya suaminya bisa ganti menu tiap hari. 
Suami enggak perlu tahu dong, kan udah ngasih uang belanja… 
Karna tetap berpegang pada pandangan : kewajiban suami memberi nafkah. Titik.

Mari kita mengakui sebuah realita. 
Terkadang, yang namanya rumah tangga butuh pemasukan lebih dari sekadar apa yang bisa dihasilkan oleh suami. 
Suka atau tidak, kenyataan ini terjadi. 
Kita tidak bisa menutup mata, meskipun Allah sudah menjamin.
Terkadang, sebagian perempuan harus bekerja untuk memberi nafkah keluarganya. 
Jika kebutuhan rumah tangganya sudah terpenuhi oleh suaminya, maka mungkin orangtuanya atau adik-adiknya masih memerlukan bantuan.
Patutkah kita melarang para istri bekerja jika keadaannya seperti ini (dan suami tidak mampu menanggung hajat hidup orang banyak)?

Tentu saya enggak bermaksud memaksakan bahwa SEMUA istri juga harus sekolah dan menjadi pekerja, enggak sama sekali.
Walaupun belum jadi ibu, saya bisa paham kalau pasti berat banget untuk ‘ninggalin’ anak-anak di rumah. 
aku pun di besar kan oleh ibu yang rela meninggalkan pekerjaan demi mengabdi pada keluarga.
aku sangat merasakan perbedaan kasih sayang, perhatian dan didikan yang ibuku berikan dengan ibu saudara sepupu ku yang bekerja dan dia di rawat oleh nenek nya.
tapi semakin aku dewasa, aku mulai bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya jika ibu ku bekerja aku juga tetap menjadi anak dengan didikan yang baik kok , selama ibu ku bisa mengatur dengan balance waktu nya 
dan itu pasti akan meminimal konflik yang ada di keluarga kami
kita tidak bisa memungkiri bahwa faktor terbesar konflik2 kecil dalam keluarga adalah masalah ekonomi

In conclusion, tulisan ini saya maksudkan untuk menyemangati para perempuan yang harus/ingin bekerja, karena alasan-alasan yang kembali lagi ke pribadi masing-masing. Saya juga berharap bisa membuka pikiran para laki-laki agar sekali lagi bertanya: “apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?” Kalau ternyata para istri ingin bekerja, mudah-mudahan mendapat jalan terbaik untuk menyeimbangkan kepentingan kedua belah pihak. Aamiin.